BagikanDakwah – Sahabat Dakwah, terlintas di benak
pikiran apakah ada besaran tertentu yang ditetapkan oleh Islam untuk nafkah
suami pada istrinya? Jika ada, berapa besaran tersebut? Simak pembahasan
dibawah ini :
Dalil yang Memerintahkan Suami untuk Memberi Nafkah
Allah Ta’ala berfirman,
لِيُنْفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آَتَاهُ اللَّهُ لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا مَا آَتَاهَا
“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut
kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah
dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada
seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya” (QS. Ath Tholaq:
7).
Dalam ayat lain disebutkan,
وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
“Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada
istrinya dengan cara ma’ruf” (QS. Al Baqarah: 233).
Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Suami punya kewajiban
dengan cara yang ma’ruf (baik) memberi nafkah pada istri, termasuk pula dalam
hal pakaian. Yang dimaksud dengan cara yang ma’ruf ialah dengan memperhatikan
kebiasaan masyarakat. Nafkah tersebut tidak berlebih dan tidak pula kurang.
Hendaklah suami memberi nafkah sesuai kemampuannya dan yang mudah untuknya,
serta bersikap pertengahan dan hemat” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 2: 375).
Dari Jabir, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
ketika haji wada’,
فَاتَّقُوا اللَّهَ فِى النِّسَاءِ فَإِنَّكُمْ أَخَذْتُمُوهُنَّ بِأَمَانِ اللَّهِ وَاسْتَحْلَلْتُمْ فُرُوجَهُنَّ بِكَلِمَةِ اللَّهِ وَلَكُمْ عَلَيْهِنَّ أَنْ لاَ يُوطِئْنَ فُرُشَكُمْ أَحَدًا تَكْرَهُونَهُ. فَإِنْ فَعَلْنَ ذَلِكَ فَاضْرِبُوهُنَّ ضَرْبًا غَيْرَ مُبَرِّحٍ وَلَهُنَّ عَلَيْكُمْ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
“Bertakwalah kepada Allah pada (penunaian hak-hak) para
wanita, karena kalian sesungguhnya telah mengambil mereka dengan amanah Allah
dan kalian menghalalkan kema-luan mereka dengan kalimat Allah. Kewajiban istri
bagi kalian ialah tidak boleh permadani kalian ditempati oleh seorang pun yang
kalian tidak sukai. Jika mereka melakukan demikian, pukullah mereka dengan
pukulan yang tidak menyakiti. Kewajiban kalian bagi istri kalian ialah memberi
mereka nafkah dan pakaian dengan cara yang ma’ruf” (HR. Muslim no. 1218).
Dari Mu’awiyah Al Qusyairi radhiyallahu ‘anhu, ia
bertanya pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai kewajiban suami
pada istri, lantas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَنْ تُطْعِمَهَا إِذَا طَعِمْتَ وَتَكْسُوَهَا إِذَا اكْتَسَيْتَ – أَوِ اكْتَسَبْتَ – وَلاَ تَضْرِبِ الْوَجْهَ وَلاَ تُقَبِّحْ وَلاَ تَهْجُرْ إِلاَّ فِى الْبَيْتِ
“Engkau memberinya makan sebagaimana engkau makan. Engkau
memberinya pakaian sebagaimana engkau berpakaian -atau engkau usahakan-, dan
engkau tidak memukul istrimu di wajahnya, dan engkau tidak menjelek-jelekkannya
serta tidak memboikotnya (dalam rangka nasehat) selain di rumah” (HR. Abu Daud
no. 2142. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih).
Inilah
Besaran Nafkah Suami pada Istri
Sahabat dakwah, Kebutuhan primer yang mesti dipenuhi oleh
suami pada istri ialah (1) tempat tinggal, (2) kebutuhan makan dan minum, (3)
pakaian. Di samping itu ada hajat lainnya yang tak bisa diabaikan seperti
nafkah pada istri agar ia bisa menuntut ilmu, nafkah untuk berobat, membeli
mebel dan perabot rumah tangga, bahkan juga nafkah untuk pembantu dan pengasuh
anak.
Jadi, Nafkah di atas tersebut kembali pada kebiasaan yang
ada di tengah masyarakat. Kadang pembantu memang begitu mendesak di sebagian
masyarakat atau di suatu keluarga. Karenanya menghadirkan pembantu kala itu dan
mengeluarkan nafkah untuk itu wajib bagi seorang suami. Ada juga di masyarakat,
pembantu bukanlah suatu yang dianggap penting karena istri sudah bisa menangani
seluruh pekerjaan rumah. Jika demikian, berarti menyediakan pembantu tidaklah
perlu.
Lalu besaran nafkah bagaimana? Yang tepat dikembalikan
pada kebiasaan masyarakat setempat, bisa jadi nafkah untuk keluarga di kota
berbeda dengan di desa.
Abul ‘Abbas Ibnu Taimiyah rahimahullah pernah berkata,
“Yang tepat dan lebih benar sebagaimana yang dinyatakan oleh kebanyakan ulama
(baca: jumhur) bahwa nafkah suami pada istri kembali pada kebiasaan masyarakat
(kembali pada ‘urf) dan tidak ada besaran tertentu yang ditetapkan oleh
syari’at. Nafkah itu berbeda sesuai dengan perbedaan tempat, zaman, keadaan
suami istri dan adat yang ada.” (Majmu’ Al Fatawa, 34: 83)
Apabila
Suami Tak Memberi Nafkah
Dari Aisyah, sesungguhnya Hindun binti ‘Utbah berkata
kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah,
sesungguhnya Abu Sufyan ialah seorang suami yang pelit. Dia tidak memberi
untukku dan anak-anakku nafkah yang mencukupi kecuali jika aku mengambil
uangnya tanpa sepengetahuannya”. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
خُذِى مَا يَكْفِيكِ وَوَلَدَكِ بِالْمَعْرُوفِ
“Ambillah dari hartanya yang bisa mencukupi kebutuhanmu
dan anak-anakmu dengan kadar sepatutnya” (HR. Bukhari no. 5364).
Baca Juga : WahaiSuami, Jangan Lupa Bahwa Nafkah Adalah Kewajibanmu
Semoga menjadi ilmu yang bermanfaat. Hanya Allah yang
memberi taufik
Sumber : rumaysho.com