Bagikandakwah – Sahabat dakwah, ketika kita beribadah kepada Allah, dianjurkan berhias diri dan menggunakan pakaian terbaik untuk menghadap Allah...
Allah Ta’ala memerintahkan kepada orang yang hendak shalat untuk berhias diri sebagaimana dalam firman-Nya,
يَا بَنِي آَدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوا إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ
“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di Setiap
(memasuki) masjid, Makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (QS. Al
A’rof: 31).
Ayat ini menunjukkan bahwa orang yang hendak shalat
diperintahkan untuk berhias diri. Tidak seperti halnya sebagian orang yang
ketika shalat malah menggunakan pakaian tidur atau pakaian kerjanya (yang penuh
kotor) dan tidak berhias diri kala itu. Ingatlah bahwasanya Allah itu jamiil
(indah) dan menyukai yang indah.
Para ulama menganggap bahwa batasan minimal berhias diri
(saat shalat) yang dimaksudkan adalah menutup aurat. Oleh karena itu, para
ulama biasa menyebutkan bahwa menutup aurat merupakan salah satu syarat sah
shalat.
Shalat jadi tidak sah karena aurat terbuka. Konsekuensi dari
pernyataan wajibnya menutup aurat yaitu yang penting tertutup meskipun pakaian
yang dikenakan ketat atau membentuk lekuk tubuh, dan ketika itu shalatnya tetap
sah.
Demikianlah yang jadi pegangan para ulama madzhab dan ulama
besar lainnya. Berikut kami nukilkan pendapat-pendapat mereka.
Madzhab
Hanafi
Ibnu ‘Abidin rahimahullah dalam catatan kakinya
(hasyiyah-nya) terhadap kitab Ad Darul Mukhtar mengatakan,
( ولا يضر التصاقه ) أي : بالألية مثلا
“Tidak mengapa memakai pakaian yang ketat yang menampakkan
bentuk bokong, misalnya.” Dalam Syarh Al Maniyyah disebutkan,
أما لو كان غليظا لا يرى منه لون البشرة إلا أنه التصق بالعضو وتشكل بشكله فصار شكل العضو مرئيا ، فينبغي أن لا يمنع جواز الصلاة ، لحصول الستر
“Adapun jika pakaian yang dikenakan itu tebal dan tidak
tampak warna kulit, namun pakaian tersebut ketat dan menampakkan bentuk anggota
tubuh, maka seperti ini janganlah dilarang untuk shalat karena pakaian tersebut
sudah menutupi aurat.”
Madzhab Syafi’i
An Nawawi rahimahullah berkata,
فلو ستر اللون ووصف حجم البشرة كالركبة والألية ونحوها صحت الصلاة فيه لوجود الستر ، وحكي الدارمي وصاحب البيان وجهاً أنه لا يصح إذا وصف الحجم ، وهو غلط ظاهر
“Jika pakaian yang dikenakan telah menutupi warna kulit dan
bentuk lekuk tubuh seperti bentuk paha atau bokong dan semacamnya masih tampak,
maka shalatnya tetap sah karena aurat sudah tertutup. Sedangkan Ad Darimi dan
penulis kitab Al Bayan memiliki pendapat lain, bahwa dalam kondisi demikian
shalatnya tidak sah karena menampakkan bentuk lekuk tubuh. Namun pernyataan ini
jelas keliru.”
Madzhab
Maliki
Dalam salah kitab fiqh Maliki, Al Fawakih Ad Dawani
disebutkan,
( وَيُجْزِئُ الرَّجُلَ الصَّلاةُ فِي الثَّوْبِ الْوَاحِدِ ) وَيُشْتَرَطُ فِيهِ عَلَى جِهَةِ النَّدْبِ كَوْنُهُ كَثِيفًا بِحَيْثُ لا يَصِفُ وَلا يَشِفُّ ، وَإِلا كُرِهَ وَكَوْنُهُ سَاتِرًا لِجَمِيعِ جَسَدِهِ . فَإِنْ سَتَرَ الْعَوْرَةَ الْمُغَلَّظَةَ فَقَطْ أَوْ كَانَ مِمَّا يَصِفُ أَيْ يُحَدِّدُ الْعَوْرَةَ . . . كُرِهَتْ الصَّلاةُ فِيهِ مَعَ الإِعَادَةِ فِي الْوَقْتِ
“Dibolehkan bagi seseorang shalat dengan satu pakaian.
Disyaratkan di dalamnya dengan maksud disunnahkan, yaitu pakaiannya hendaknya
tebal, tidak menampakkan bentuk lekuk tubuh, dan tidak pula tipis. Jika tidak
demikian, maka hal itu dimakruhkan. Jadi hendaknya seluruh aurat tertutup. Jika
aurat tertutup dengan sesuatu yang tebal saja atau menampakkan bentuk lekuk
tubuh …, shalat dalam keadaan seperti itu dimakruhkan dan shalatnya hendaknya
diulangi ketika itu.”
Dalam perkataan ini menunjukkan bahwa shalat dalam keadaan
pakaian yang ketat (yang membentuk lekuk tubuh) dianggap makruh dan bukan
haram.
Madzhab
Hambali
Al-Bahuti rahimahullah mengatakan,
ولا يعتبر ان لا يصف حجم العضو لأنه لا يمكن التحرز عنه
“Tidak teranggap pernyataan tidak membentuk lekuk tubuh
karena ini adalah suatu hal yang sulit dihindari.”
Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan,
وَإِنْ كَانَ يَسْتُرُ لَوْنَهَا ، وَيَصِفُ الْخِلْقَةَ ، جَازَتْ الصَّلَاةُ ؛ لِأَنَّ هَذَا لَا يُمْكِنُ التَّحَرُّزُ مِنْهُ ، وَإِنْ كَانَ السَّاتِرُ صَفِيقًا
“Jika pakaian tersebut sudah menutupi warna kulit secara
sempurna, namun menampakkan bentuk lekuk tubuh (alias ketat, pen), shalatnya
tetap sah karena seperti ini sulit dihindari walaupun dengan pakaian yang
sempit asalkan menutupi aurat.”
Demikian pendapat para ulama madzhab.
Pendapat Ulama Besar Lainnya
Sayyid Sabiq rahimahullah mengatakan,
الواجب من الثياب ما يستر العورة وإن كان الساتر ضيقا يحدد العورة
“Pakaian yang wajib dikenakan (ketika shalat) adalah yang
menutupi aurat walaupun dengan pakaian yang sempit yang menampakkan bentuk
lekuk tubuh.”
Syaikh Sholeh Al Fauzan hafizhohullah berpendapat bahwa
orang yang berpakaian ketat saat shalat, shalatnya tetap sah namun ia berdosa.
Beliau mengatakan,
الثياب الضيقة التي تصف أعضاء الجسم وتصف جسم المرأة وعجيزتها وتقاطيع أعضائها لا يجوز لبسها ، والثياب الضيقة لا يجوز لبسها للرجال ولا للنساء ، ولكن النساء أشدّ ؛ لأن الفتنة بهن أشدّ . أما الصلاة في حد ذاتها ؛ إذا صلى الإنسان وعورته مستورة بهذا اللباس ؛ فصلاته في حد ذاتها صحيحة ؛ لوجود ستر العورة ، لكن يأثم من صلى بلباس ضيق ؛ لأنه قد يخل بشيء من شرائع الصلاة لضيق اللباس ، هذا من ناحية ، ومن ناحية ثانية : يكون مدعاة للافتتان وصرف الأنظار إليه ، ولا سيما المرأة ، فيجب عليها أن تستتر بثوب وافٍ واسعٍ ؛ يسترها ، ولا يصف شيئًا من أعضاء جسمها ، ولا يلفت الأنظار إليها ، ولا يكون ثوبًا خفيفًا أو شفافًا ، وإنما يكون ثوبًا ساترًا يستر المرأة سترًا كاملاً
“Pakaian ketat yang masih menampakkan bentuk lekuk tubuh
termasuk pada wanita di mana pakaian tersebut tipis dan terpotong pada beberapa
bagian, seperti ini tidak boleh dikenakan. Pakaian semacam ini tidak boleh
dikenakan pada laki-laki maupun pada wanita, dan pada wanita larangannya lebih
keras dikarenakan godaan pada mereka yang lebih dahsyat. Adapun keabsahan
shalatnya tergantung bagaimana pakaiannya. Jika seseorang shalat dan auratnya
tertutup dengan pakaian tersebut, maka shalatnya dalam keadaan seperti ini sah
karena sudah menutupi aurat. Akan tetapi ia berdosa jika shalat dengan pakaian
ketat semacam itu. Alasannya karena ia telah meninggalkan perkara yang
disyari’atkan dalam shalat. Alasan lainnya, berpakaian semacam ini dapat
memalingkan pandangan orang lain padanya, lebih-lebih lagi pada wanita. Maka
hendaklah berpakaian dengan pakaian longgar dan tidak ketat. Janganlah sampai
menampakkan bentuk lekuk tubuh sehingga dapat memalingkan pandangan orang lain
padanya. Jangan pula memakai pakaian yang tipis. Hendaklah berpakaian yang
menutupi aurat dan pada wanita berpakaian dengan menutupi auratnya secara
sempurna.”
Penutup
Nukilan-nukilan di atas bukan berarti kami ingin melegalkan
pakaian ketat dalam shalat. Pakaian ketat sudah sepatutnya dijauhi ketika
bermunajat pada Allah dalam shalat.
Karena ini sama saja menafikan perintah untuk berhias diri
ketika shalat. Intinya, maksud bahasan di atas adalah apakah shalat dengan
pakaian ketat sah ataukah tidak?
Bahasan ini akan dilanjutkan dengan bahasan hukum memakai
celana panjang dalam shalat. Moga Allah mudahkan.
Wallahu Ta’ala a’lam. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi
tatimmush sholihaat.
Wa billahit taufiq. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad
wa ‘ala aalihi wa shohbihi wa sallam.
Demikianlah penjelasan mengenai Hukumnya Sholat Pakai Celana
Ketat. Semoga dapat bermanfaat
Sumber: rumaysho.com